Sabtu, 17 Agustus 2013

Apa Itu Teori


Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
Tak mungkin berubah begitu saja tanpa kita mau berusaha, tak ada perjuangan yang sia-sia yakinlah penindas pasti binasa.” (Red Flag)
Seorang teman baikku (seorang akademisi dari sebuah universitas di Yogyakarta) dalam suatu diskusi dengan diriku pernah melontarkan sebuah argumen yang membuat benakku harus menyanggah lontarannya tersebut, karena menurutku lontarannya tersebut bermuatan arus (mainstream) pemikiran borjuis dan elitis yang menjauh dari kepentingan massa rakyat. Aku melihat argumen teman baikku itu mengespresikan adanya retakkan antara teori dan kepentingan untuk berpraksis, kepentingan massa rakyat dalam membangun pikiran kritis dan aksi mengubah dunia.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi lontaran dari teman baikku itu, tulisan ini aku buat untuk diposisikan sebagai anti tesis dalam tradisi dialektika-Marxis, demi untuk menghancurkan sekaligus membangun sesuatu demi menciptakan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya (ambarbinangun: bar ambyar njur dibangun). Berangkat dari sini, maka izinkanlah aku untuk ber-anti tesis ria dengan dirimu (pikiranmu), wahai teman baikku.
Temanku mengatakan bahwa sebuah teori baru bisa dikatakan teori apabila dia memenuhi 3 syarat minimal. Apakah syarat minimal itu? Pertama, teori harus mengalami uji coba yang panjang, dan yang Kedua, sebuah teori harus diakui secara universal, dan Ketiga sebuah teori harus netral—tidak memihak. Sayangnya temanku ini tidak memberikan argumen tentag definisi teori, dia hanya mengemukakan 3 syarat minimal itu saja. Tidak diberikannya definisi terhadap teori ini, menurutku, adalah tindakan yang sangat fatal (kalau tidak ingin dibilang konyol) karena hal itu akan menyeret orang pada kebingungan terhadap pengertian dari teori itu sendiri.
Untuk kepentingan menguji lontaran dari teman baikku itu, menurut diriku perlu untuk melakukan pendefinisian teori sebagai titik tolak membongkar ideologi yang bersembunyi dibalik argumentasi yang dilontarkan oleh teman baikku itu.
Dalam pandanganku teori itu tidak lebih dari sebuah alat analisis atau sering juga diistilahkan dengan pisau analisis yang harus terintegrasi dengan kepentingan rakyat tertindas. Jadi, teori itu harus memihak, memihak pada kepentingan rakyat tertindas, tidak netral. Konkretnya begini, teori adalah sebuah alat untuk menjelaskan sesuatu secara rasional dan memihak. Berangkat dari sini, maka dapatlah dikatakan bahwa orang yang sedang berpikir secara teoritis adalah orang yang sedang memberikan penjelasan rasional terhadap obyek yang berada di luar dirinya dan buah dari pemikirannya tersebut diabdikan untuk membebaskan manusia dari ancaman dan kondisi yang menindas. Baiklah, untuk lebih mengkonkretkan lagi definisi teori yang aku bacotkan ini aku akan menjelaskannya dalam bentuk peristiwa berikut ini:
Misalnya dibenak kita muncul pertanyaan (setelah mengamati suatu obyek) begini, mengapa gunung merapi meletus? Ada dua jawaban yang bisa menjelaskan peristiwa itu, yang Pertama penjelasan yang bersifat mistis nir-rasional, dan jawaban Kedua bersifat materiil-rasional. Jawaban mistis misalnya karena Kyai Sapu Jagat sedang berahi (konak/horni/ngaceng) dan kemudian dia bersetubuh (ngentot) dengan Nyai Roro Kidul dan dari persetubuhannya itulah, maka Kyai Sapu Jagat memuncratkan spermanya dalam bentuk letusan gunung merapi. STOP! Tulisan ini tidak berurusan dengan jawaban yang bersifat mistis seperti itu, tulisanku ini hanya sudi-mengakui jawaban yang bersifat materiil-rasional..!! TEGAS AKU KATAKAN BAHWA JAWABAN YANG BERSIFAT MISTIS BUKAN JAWABAN YANG BERSIFAT TEORITIS KARENA TIDAK MEREFLEKSIKAN AKAL SEHAT. Jawaban materiil-rasional memberikan penjelasan bahwa letusan gunung merapi itu adalah fenomena alam yang menandakan bahwa magma yang ada di dalam perut bumi yang tersumbat oleh batu besar berhasil mendesak dan mendorong dirinya keluar. Keberhasilan magma mendesak, mendorong, dan kemudian keluar dari perut bumi inilah yang menyebabkan sebuah gunung merapi meletus. Jawaban-penjelasan secara materiil-rasional seperti inilah yang dinamakan dengan TEORI.
Teori yang hadir untuk menjelaskan fenomena alam itu sebenarnya merupakan refleksi dari sikap pikiran setelah mengamati hal-hal yang bersifat materiil (keterancaman dan terjadinya “penindasan” alam terhadap manusia). Terus apa hubungannya dengan kepentingan massa rakyat? Sudah jelas teori itu bermanfaat bagi massa rakyat untuk mengambil tindakan-tindakan rasional (baca: merubah prilaku) dalam membaca tanda-tanda alam demi menyelamatkan diri dari amukan letusan gunung merapi yang menindas. Inilah relevansi teori dengan kepentingan massa rakyat. Jadi, tidak terjadi retakan antara teori dengan massa rakyat.
Teori yang lahir dari pengamatan materiil tersebut, dalam perkembangannya, tidak hanya berhenti pada ranah ilmu-ilmu alam tetapi kemudian berkembang pada ranah ilmu-ilmu sosial sejalan dengan berkembangnya modus produksi manusia. Sama seperti halnya dengan ilmu alam, ilmu sosial pun bergerak dan berkembang mengkuti dinamika kepentingan massa rakyat. Namun, harus digaris bawahi bahwa pergerakan dan perkembangan teori ini tidak berada di ruang kosong, dalam pergerakan dan perkembangannya dia harus berhadap-hadapan secara dialektis dengan penemuan-penemuan baru dari massa rakyat. INILAH UJIAN YANG TERPENTING DARI SEBUAH TEORI: UJIAN TERHADAP PENEMUAN BARU DARI MASSA RAKYAT…!! BUKAN UJIAN DALAM BENTUK DIA (TEORI) HARUS DIPERDEBATKAN SECARA AKADEMIS DAN KEMUDIAN JIKA LOLOS AKAN MENDAPATKAN HADIAH NOBEL (atau lulus dalam ujian skripsi, tesis, atau disertasi secara formal yang menandakan bahwa dirinya telah berhasil-selesai mengenyam pendidikan ala borjuis). DAN KARENA TELAH DIUJI SECARA AKADEMIS, MAKA DIA BERHAK UNTUK MENYANDANG TEORI UNIVERSAL. Sungguh sebuah pemahaman yang keliru!
Tidak berhenti sampai di sini: Ujian dari massa rakyat ini pun tidak bersifat statis, artinya ujian yang hanya muncul dari perenungan di atas menara gading, tetapi ujian ini lahir dari proses yang bersifat materialis-historis, artinya teori terlahir dan kemudian terbangun karena dinamika dari perjuangan kelas. Inilah argumenku yang bertentangan dengan argumen teman baikku itu. Jika temanku itu menganggap teori terpisah dari perjuangan kelas (netral-tidak memihak), maka aku dengan tegas menggariskan bahwa teori harus lahir dan terbangun dari terjadinya pertarungan antara kelas penindas dan kelas yang ditindas. Jika teori tidak lahir dari perjuangan kelas, maka sebuah teori hanyalah berposisi sebagai budak bagi kepentingan kelas penindas, misalnya teori yang dilontarkan oleh Talcott Parsons dan Robert K. Merton—Fungsionalisme-Struktural—yang berusaha menyumbat perjuangan kelas demi kemapanan kelas borjuis (penindas).
Yoi Pace! Pertarungan antar teori di ranah pegerakan dan perkembangan ilmu pengetahuan, berangkat dari apa yang sudah aku sampaikan tersebut, sebenarnya merupakan ekspresi dari pertarungan kelas penindas versus kelas yang tertindas. Dan berangkat dari sini, dapatlah pula dipahami bahwa teori adalah refleksi dari basis (hubungan produksi) yang saling bertarung. Artinya untuk melanggengkan hubungan produksi yang menindas hal itu tidak saja memunculkan teori yang membudak pada kelas penindas, tetapi hal itu juga berdampak pada lahirnya teori yang merupakan refleksi dari kekuatan yang berusaha “merontokan” hubungan produksi yang menindas tersebut. Misalnya untuk melawan teorinya Adam Smith yang memberikan legitimasi terhadap penindasan model kapitalisme, maka lahirkan teori yang berkepentingan membebaskan massa rakyat tertindas (proletariat): Marxisme.
SEKALI LAGI PENULIS GARISKAN SECARA TEGAS BAHWA TEORI ADALAH SEBUAH ALAT UNTUK MENJELASKAN SESUATU SECARA RASIONAL DAN BERWATAK MEMIHAK. TEORI YANG TIDAK MEMIHAK ADALAH TEORI YANG BERUSAHA UNTUK MEMBANGUN KESADARAN PALSU.
Sebuah teori agar menjadi teori tidak perlu diuji secara akademis yang kemudian dari situ dia menyandang “pangkat/jabatan [elite]” universal dan tidak memihak, namun keharusan yang wajib (tidak boleh tidak..!!) dijalani adalah ujian yang menguji dia mampu atau tidak untuk membebaskan massa rakyat yang terperangkap dalam kesadaran palsu dan kemudian membangkitkan kesadaran untuk berlawan?! Berangkat dari sini, maka sebuah lembaga pendidikan bukanlah lembaga tempat orang adu bacot tetapi merupakan medan bagi bertarungnya ideologi penindas (kapitalis) dengan pihak yang tertindas (proletar). Dan, lembaga-lembaga pendidikan itu tidak hanya ada di ruang-ruang kelas yang sejuk, nyaman dengan dosen-dosen dan mahasiwa/mahasiswinya bepenampilan sok bersih, perlente (tampak gagah (bagus, apik, tampan, rapi, necis); suka berpakaian rapi), glamor dan bergaya borjuis tetapi juga ada di tempat-tempat kaum tertindas diperlakukan tidak adil, diperas/dihisap tenaga kerjanya.
Catatan: Jika ingin mendapatkan penjelasan (teori) komprehensif terhadap terjadinya penindasan yang terjadi dalam sistem kapitalisme dan bagaimana kapitalisme melanggengkannya, menurut penulis, kaum tertindas harus mempelajari teori-teori Marxis. Tidak hanya berhenti memberikan penjelasan, tetapi teori-teori Marxis akan menuntun kaum tertindas untuk membebaskan dirinya dari kondisinya yang tertindas. Jadi, Marxisme bukanlah dogma tetapi merupakan alat penjelas dan penuntun untuk melakukan perubahan sosial yang berpihak pada kepentingan kaum tertindas.
Kepentingan utama bagi kaum tertindas dan kaum intelektual mempelajari ajaran-ajaran Marxis adalah untuk merubah keadaan bukan untuk menopang hubungan produksi yang bersifat menindas, apalagi hanya untuk kesenangan atau gagah-gahanan. Dan harus diingat bahwa usaha untuk mempelajari Marxis hanyalah salah satu usaha saja untuk memahami terjadinya penindasan. Dan, karena merupakan salah satu usaha, dia harus diperlengkapi dengan usaha-usaha lainnya, yakni gerakan berlawan. Karena tanpa adanya gerakan berlawan, nasib tidak akan berubah begitu saja, teori hanya berhenti sebagai teori, bahkan jika teori didiamkan begitu saja dan hanya dijadikan kesenangan intelektual, maka teori akan membusuk (dimandulkan peranan revolusionernya oleh orang bersangkutan, orang yang paham teori).
Karl Marx pernah berkata bahwa teori bukanlah sesuatu untuk bersenang-senang, tetapi alat untuk melakukan suatu perubahan (Karl Marx dalam Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001). Karl Marx pun juga pernah berkata dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Tesis on Feuerbach” bahwa selama ini para filsuf (pemikir/penteori-pen.) hanya berpikir tentang dunia tidak berpikir bagaimana untuk mengubah dunia padahal kepentingan utama dari teori adalah mengubah dunia!

Jumat, 16 Agustus 2013

Dirgahayu indonesia ke-68




17 agustus 1945 hari kemerdekaan Indonesia

Salam Nasionalisme !!!
Sebagai hari kemerdekaan indonesia yang kita peringati setiap tahun pada tanggal 17 agustus ini sekiranya membuat masyarakat indonesia kembali mengingat jasa-jasa para leluhur kita yang telah berjuang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, para pahlawan bangsa yang mengorbankan keringat, darah, bahkan nyawa mereka dan berharap bangsa yang besar ini kelak akan menjadi suatu bangsa yang tangguh di mata dunia.
Para pahlawan kita berjuang untuk bangsa indonesia memiliki masa depan yang cerah untuk di nikmati anak cucuh mereka selaku generasi pelajut  yang memperjuangkan bangsa ini dengan jiwa patriotisme untuk membanggakan bangsa di bumi kita berpijak yaitu INDONESIA.
Harapan yang mulia yang di inginkan para leluhur kita semoga menjadi motivasi kita selaku pelanjut perjuangan mereka akan memperjuangkan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan membanggakan.
Sekarang  yang menjadi pertanyaan besar untuk generasi hari ini. Apa yang telah kita berikan terhadap bangsa indonesia hari ini? Apakah bangsa ini menjadi lebih baik di bandingkan masa lalunya???. Mari kita jawab dengan tindakan yang jelas jika kita memang benar-benar peduli terhadap bangsa ini, sebab sebagai manusia yang bermukim di sebuah negara semua bertanggung jawab atas untuk membanggakan bangsanya.
Terlebih banyak rintangan yang akan kita hadapi dalam nilai-nilai perjuangan kita dari problem-problem bangsa ini yang telah mengrogoti bangsa ini, seperti  menumpuknya utang negara, makin maraknya kasus-kasus korupsi, aturan-aturan yang di buat banyak yang terjadi timpang tindih, pengambilakn hak kedaulatan rakyat, penjualan aset negara, dan masih banyak kasus-kasus lainnya yang selama ini membuat membuat bangsa ini kepada masa keterpurukan
Memang benar telah banyak yang telah di raih oleh bangsa ini, bangsa ini telah meraih kemerdekaannya selama 68 tahun telah berlalu setelah telah terjajah selama 3,5 abad oleh belanda dan 35 tahun oleh jepang hingga bangsa ini telah berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945.
Yang perlu kita sadari bahwa kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 bukanlah menjadi titik puncak perjuangan rakyat inidonesia, tetapi menjadi langkah awal atau  menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat indonesia.  Sebab bangsa ini telah lama berada pada titik suram dan saatnya bangkit dengan kemerdekaan yang telah kita raih.
Maka mari kita sesama membangun rasa peduli terhadap bangsa yang kita banggakan ini, selalu memberikan yang terbaik untuk bangsa ini,dan mewujudkan jiwa untuk merealisasikan kesejahteraan bangsa Indonesia, dan tak lupa seperti yang di katakan oleh bapak proklamator indonesia 
“IR.SOEKARNO yaitu “ JAS MERAH”
 
“jangan pernah melupakan sejarah”
                                                                                              
  MMR (milisi mahasiswa radikal)
Hasrul MMR (085394469407)
hasruldimasasgari@gmail.com
 

Kamis, 15 Agustus 2013

Korupsi Dalam Tubuh PRD



Oleh: Ragil Nugroho
[Maaf] sedikit mengganggu pesta kangen-kangenan dan mengenang heroisme.

Waktu itu— kira-kira pertengahan 2001— di salah satu kamar di sebuah Hotel di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, penuh sesak. Seluruh pimpinan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik [KPP-PRD] ditambah “Pimpinan Bawah” menyesaki kamar ukuran paling besar itu. Tentu saja asap rokok ikut berdesakan. Agar tak menyingung alarm asap kamar hotel, merekok dilakukan secara bergiliran. Dalam siasat menyiasati, kader PRD memang ahlinya.
Mungkin yang penting agendanya: sidang kasus korupsi dengan terdakwa Ignatius Putut Ariantoko.
Kalau klipingan koran seputar peristiwa 27 Juli 1996 dibuka, nama Putut termasuk daftar anggota PRD yang di pejara di LP Cipinang. Vonisnya paling ringan sehingga ia bebas paling dulu. Sejak keluar penjara tahun 1997, ia menduduki posisi penting sebagai kurir antara “Pimpinan Atas” dan “Pimpinan Bawah”; sebuah jabatan penting dalam organisasi Kiri semacam PRD. Tak semua anggota PRD mengetahui siapa-siapa saja “Pimpinan Bawah” karena dipilih secara tertutup dan rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui—termasuk kurir tentunya. Oleh sebab itu, kedudukan Putut tak bisa dianggap remeh.
Bisa jadi adagium yang mengatakan “pemegang kekuasaan paling dekat dengan korupsi” adalah benar adanya. Putut sebagai bagian dari “Pimpinan” partai yang mempunyai kekuasaan akhirnya terjerumus dalam korupsi.
Sebagai latar ada baiknya mengetahui situasi politik sebelum kasus korupsi terjadi. Tahun 1999 PRD memutuskan ikut Pemilu. Peristiwa ini bisa dikatakan sebagai titik balik dalam perjalanan PRD. Lolos dalam Pemilu terdemokratis paska Orde Baru, membuat PRD memiliki akses ekonomi yang terbuka secara luas. Dana yang dialirkan pemerintah menjadikan PRD memiliki darah segar. Partai yang awalnya kere ini sontak naik kelas. Setiap sekretariat wilayah mempunyai komputer baru, para pimpinannya mulai berkenalan dengan telepon genggam [sebelumnya hanya pager yang paling mewah], taksi mulai dikenal sebagai alat transportasi [sebelumnya hanya dalam situasi darurat dipakai, lebih banyak naik mikrolet atau bus kota dalam situasi biasa], jasa binatu mulai dikenal sehingga pakaian tak lusuh lagi, dan tentu saja parfum [minimal minyak wangi]. Dengan kata lain, Pemilu 1999 menciptakan semacam ‘kebudayaan’ baru di antara pimpinan-pimpinan PRD—dari kebudayaan udik ke modern. Seperti biasa, setiap transisi kebudayaan pasti ada gegar. Pun, dalam tubuh pimpinan PRD.
Putut berada dalam pusaran itu. Sebagian dana dari daerah—konsepnya dana daerah mesti disetor ke pusat, istilah kerennya disentralisasi; mungkin agar mirip konsep sentralisme demokrasi ala Partai Kiri—ternyata masuk ke rekening Putut. Tak mengherankan ketika kasus korupsi itu terkuak nilai nominalnya sudah mencapai 125 juta lebih. Tentu saja banyak yang terhenyak, terutama kader-kader Partai kelas tiga. Mengapa terhenyak? Karena selama ini para kader kelas tiga menganggap partai miskin.
Sebagai gambaran kehidupan kader kelas tiga adalah sebagai berikut: tidur di sekretariat kantor Pimpinan Pusat, yang tentu saja sumpek dan bau, kerja full time untuk Partai, dan sebagai imbalan mendapat jatah makan dua kali sehari dengan lauk dua iris tempe/tahu plus sayur asam, lodeh atau sop [tentu saja lebih banyak kuahnya agar bisa mencukupi untuk banyak orang]. Tak mengherankan kalau ada orang luar datang ke sekretariat dan membawa makanan, dalam waktu 5 menit dipastikan makanan itu akan tandas dikerubungi kader kelas tiga ini [persis suasana penampungan anak jalanan].
Secara kejiawaan kondisi kader kelas tiga ini bisa dikatakan mengkhawatirkan. Ada seorang kader yang karena saking frustasinya membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Bisa dibayangkan bagaimana rasa kepala bertemu tembok. Masalah yang menghinggapinya adalah soal saling serobot pacar. Ada pula seorang kader perempuan karena merasa tersinggung melempar kader lain dengan sebilih pisau. Untung saja pisaunya meleset dan hanya mengenai tembok [korban pelemparan pisau sekarang karena mungkin pandai berkelit bisa menjadi caleg DPRI dapil Jawa Tengah dari Partai Gerindra]. Muncul juga peristiwa seorang kader dari Solo karena emosi mengejar kader lainnya dengan sapu lantai disertai dengan umpatan-umpatan rasis [kebetulan yang dikejar-kejar kader beretnis Tionghoa]. Sempat terjadi baku pukul. Tak kalah mengkhawatirkan seorang kader setiap malam naik naik ke atap kantor lantas mengisap gelek [ganja] sambil senyam-senyum sendiri. Pernah pula dua kader saling ancam dengan pisau gara-gara masalah makanan. Juga beberapa kali terjadi masalah pelecehan sexual. Karena tertekan masalah sexual [mau ke lokalisasi tak mampu; kalau yang mampu seminggu sekali akan ke Grogol atau Mangga Besar—yang dikenal dengan sebutan Mabes] sementara birahi sudah di ubun-ubun akhirnya melakukan pelecehan sexual [biasanya pada kader perempuan dari daerah yang kebetulan menginap di kantor].
Tentu yang paling mengenaskan menimpa Yahya Gunawan [semoga Tuhan menerimamu di surga]. Tekanan demi tekanan [tekanan di sini bukan sekadar masalah politik, tapi juga masalah pacar, dll] menyebabkan dia sering menenggak minuman keras. Karena uang cekak, tentu saja yang ditenggak seringkali minuman oplosan yang murah harganya. Beberapa tahun kemudian akhirnya ia meninggal karena livernya tak mampu lagi bekerja dengan baik, yang kemudian berakibat pada komplikasi. Nama seperti Yahya Gunawan ini akan jarang disebut karena memang bukan selebritis dalam lingkaran PRD.
Artinya tak seperti berita indah selama selama ini: kader-kader PRD militan, disiplin, tegar, berani dan mempunyai watak heroik lainnya. Kader-kader kelas tiga ini manusia dengan berbagai problem psikologis dan perut yang akut. Tentu saja dalam mengenang masa kepahlawanan kondisi ini tak perlu diungkap karena akan mengikis watak kesatria yang ingin ditampilkan. Manusia PRD mesti ditampilkan seperti baja, tak retak-retak dan serba sempurna.
Jadi, begitu tahu seorang kader seperti Putut mampu menyimpan uang di rekeningnya di atas 100 juta, banyak yang merasa tertipu. Bahwa hidup asketis para kader kelas tiga demi perjuangan menegakkan sosialisme yang maha mulia itu ternyata dikencingi oleh “Pimpinan” seperti Putut. Dalam kenyataanya, kader kelas tiga ini yang paling patuh pada intruksi partai tanpa tanda tanya lagi.
Sedikit gambaran. Para pimpinan kelas atas yang sudah populer namanya karena menjadi selebritis di media massa [pernah dipenjara, diculik,dll], tak pernah tinggal di sekretariat partai, rata-rata memiliki tempat kost sendiri. Dan, seorang Ketua Umum—yang sekarang tentu sudah banyak dikenal—mendapat pengawalan khusus dan fasilitas yang berbeda dengan kader kelas tiga, misalnya. Tapi bukan berarti semuanya beres. Ada seorang Pimpinan senior [kabarnya beliau nanti malam akan menyampaikan pidato politik], akibat berebut kekasih dengan simpatisan PRD di Jogja, kemudian saling tantang lewat telepon genggam. Kemudian diputuskan tempat untuk duelnya di Cerebon. Tak tahu persis kenapa Cirebon yang dipilih. Yang pasti duel itu gagal karena Pimpinan senior itu kehilangan nyali [versi sang simpatisan]. Sejak saat itu sang Pimpinan senior frustasi sehingga tak mau memimpin partai hingga berbulan-bulan [bahkan dalam persidangan kasus Putut tak hadir].
Kondisi seperti yang telah diterangjelaskan di atas itulah yang menyebabkan sidang kasus Putut sempat diwarnai kericuhan. Oleh kader-kader kelas tiga yang ada di rungan itu, Putut hampir dihakimi secara fisik. Untung situasi bisa dikendalikan. Putut tak jadi dihajar seperti maling ayam. Pada akhirnya Putut divonis melakukan korupsi dan dipecat dari PRD. Pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini: apakah uang itu ia “makan” sendiri? Ketika diadakan penyitaan terhadap harta Putut hanya diperoleh kulkas, vcd player, televisi dan sebuah sepeda motor bekas. Nilainya tentu saja di bawah 100 juta.
Kira-kira dua atau tiga tahun setelah kasus korupsi itu, Putut sempat curhat kepada mantan kekasihnya [sebut saja Melati, bukan nama sebenarnya]. Ia mengatakan sebetulnya uang itu tak dimakannya sendiri. Menurutnya sebagian dipakai oleh pimpinan-pimpinan yang lain. Curhat Putut itu sebuah kebenaran atau hanya apologia, tentu saja hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas sampai sekarang tak terkuak. PRD bisa dikatakan organisasi setengah konspirasi sehingga persoalan-persoalan [terutama menyangkut Pimpinan] tak akan berkuak secara tuntas, mengambang atau dilupakan begitu saja.
Korupsi selanjutnya relatif lebih kecil. Pada kisaran 20 juta. Fauzi Bayu, Ketua Komite Pimpinan Wilayah [KPW] Jawa Timur, yang menjadi tersangka. Kejadiannya terjadi pada tahun 2002. Kasusnya berawal dari pemilihan gubernur Jatim. Imam Utomo, mantan Pangdam Brawijaya, maju sebagai calon gubernur. Seperti sudah diketahui, paska Peristiwa 27 Juli, Imam Utomo ketika menjadi Pangdam banyak menangkap dan menyiksa aktivis-aktivis PRD. Ketika ia maju sebagai calon gubernur, PRD Jatim membongkar dosa-dosa Imam Utomo itu. Akhirnya Imam Utomo berhasil mendekati Fauzi Bayu. Dari kesepakatan, agar PRD tak menyerang lagi, Imam Utomo memberikan imbalan “uang tutup mulut” sebanyak 20 juta. Nah, uang ini tak dilaporkan Fauzi Bayu pada Pimpinan Pusat. Atas kejadian itu, ia didakwa melakukan korupsi. Oleh partai akhirnya Fauzi Bayu didakwa bersalah dan dipecat dari PRD. Seperti dalam kasus Putut, yang belum terjawab sampai sekarang: apakah uang itu dimakan sendiri oleh Fauzi Bayu, atau sudah sempat ia bagi-bagikan pada kader/pimpinan yang lain? Biar para malaikat yang menjawab.
Kasus korupsi yang ketiga dengan terdakwa Ketua Umum PRD, Yusuf Lakaseng—sekarang caleg nomer 2 dari Partai Hanura untuk daerah pemilihan Sulteng. Kasus ini terbongkar lebih disebabkan oleh masalah kesenjangan di atara Pimpinan PRD. Pimpinan yang lain melihat Lakaseng bisa hidup kecukupan sementara sebagian merasa kekurangan. Karena ada kecurigaan, pada suatu hari, buku tabungan Lakaseng “dicuri” oleh beberapa Pimpinan KPP PRD.
Sedikit menyempal. Peristiwa “kesenjangan” ekonomi ini sering menjadi letupan. Pernah dalam sebuah rapat seorang kader perempuan karena bajunya sering baru dituduh melakukan korupsi oleh seorang kader lain. Tentu saja si tertuduh nangis-nangis karena merasa tak melakukan korupsi, dan mengancam akan balik ke Lampung dan mengundurkan diri dari partai.
Kita lanjutkan. Buku tabungan Lakaseng kemudian di print out. Hasil penelusuran ternyata ada dana yang mengalir ke rekening Lakaseng yang tidak dilaporkan ke bagian keuangan. Nilainya berkisar 20 juta. Pengusutan dilakukan. Dari hasil persidangan di partai [Lakaseng tidak hadir dan hanya menulis sepucuk surat[, diputuskan ia bersalah dan dipecat dari PRD.
Kasus korupsi ternyata tak memupus karier politik Yusuf Lakaseng. Setelah dipecat dari PRD ia bergabung dengan Partai Bintang Reformasi [PBR]. Uniknya, dalam Pemilu 2009 PRD melebur dalam PBR, dan tentu saja ketemu lagi dengan Lakaseng. Mungkin di situlah keunikan politik. Dari PBR kemudian Lakaseng hijrah ke Nasdem. Ketika Nasdem retak, ia melompat ke Hanura. Sekarang sebagai caleg DPR RI, ia mempunyai slogan yang keren dalam spanduk dan balihonya. Bunyinya begini: “Politik Itu Jalan Kehormatan. Jangan Kotori Dengan Korupsi !!!” [tiga tanda seru sesuai tulisan aslinya].
Begitulah. Tentu kisah korupsi ini tak elok disampaikan dalam perayaan hari lahir. Tentu saja bila diungkap akan merusak suasana pesta dan romatisme pada masa-masa revolusioner. Masak, PRD yang sering mendaku menjadi partai Kiri paling revolusioner, pimpinannya pernah terlibat korupsi. Jijik banget, kan? Oleh sebab itu, lebih baik dikubur dalam-dalam dalam suasa suci dan sakral itu.
[Mungkin] kasus-kasus korupsi dalam PRD itu merupakan sumbangan terbaik bagi Indonesia [semoga nanti ada yang mau membukukannya]. Bisa jadi hanya di PRD kader-kadernya mengkorup duit partainya sendiri. Memang berbeda dengan partai lain yang angota-anggotanya mengkorup uang negara untuk kepentingan sendiri dan partainya, di PRD kebalikannya. Memang tak ada duanya PRD.
Pada akhirnya: Tujuan kita satu, Ibu: menggarong duit partai.***

Rabu, 14 Agustus 2013

Angkatan 22 Juli

Oleh: Ragil Nugroho
Konon, ketika Maneka—seorang pelacur dengan rajah kuda putih di punggungnya—hendak dikuliti pundaknya, Hanuman—kera putih—tiba-tiba mecungul. Hanuman marah besar melihat Maneka diperlakukan seperti itu oleh suku padang pasir. Ia injak bumi sekuat-kuatnya hingga 200 orang penyiksa si pelacur amblas ke perut bumi. Di atasnya Hanuman lantas membuat totem—tugu peringatan—bagi siapa saja yang akan melakukan angkara. Begitulah yang dituliskan Seno Gumira dalam novel Kitab Omong Kosong.
Angkatan 22 Juli juga punya totem. Dua jumlahnya: [Wiji] Thukul dan Darah Juang. Keduanya yang selalu disembah dan ditaburi karangan bunga dalam setiap persembahan setiap tanggal 22 Juli [dalam kalender matahari].
Dalam edisi khusus Majalah Tempo [Teka-teki Wiji Thukul], semua kader Angkatan 22 Juli yang ada di majalah itu ingin ambil peranan. Akibatnya sulit dibedakan apakah itu kisah tentang Thukul atau tentang keheroikkan Angkatan 22 Juli. Kata-kata untuk memperlihatkan peranan dan keterlibatan dipilih: “Aku sempat takut kalau ditangkap aparat.” [hal.42]. “Kami bawa laptop yang saat itu sangat tebal dengan modem yang suaranya berisik.” [hal.43]. “Saya menerima selebaran-selebaran dan dokumen partai dari kurir partai di Jakarta yang bekerja untuk beberapa universitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.” [hal.43]. Itu hanya contoh. Secara lengkap silakan baca majalahnya. Yang jelas kalimat-kalimat itu dipilih untuk menunjukkan aku, saya /kami ambil peranan. Thukul telah berhasil diperkuda oleh Angkatan 22 Juli guna menunjukkan kegagah-perwiraan mereka dalam menumbangkan kediktatoran Suharto. Sehingga, meminjam slogan Chairil Anwar: Yang bukan Angkatan 22 Juli dilarang ambil peranan!
Pun, ketika lagu Darah Juang dikumandangkan, seperti dalam reuni para opa dan oma, akan muncul kalimat: “Dulu kita bla bla”….”dulu kami bli bli”…”masa itu kami gituin buruh.”… “ini aksi kami waktu 10 tahun lalu.”…”waktu itu kami dikejar-kejar”, dll, dsb. Karena seperti oma dan opa yang sudah memasuki usia jompo, hanya “dulu” dan “kata lampau lainnya” yang bisa didaur ulang serta dijejerkan untuk memperlihatkan betapa hebatnya masa itu; masa revolusioner; masa ketika acungan tangan kiri dan teriakan seolah-olah bisa membelah langit, dan pijakan kaki bisa menenggelamkan segala angkara. Sekarang dan masa depan tak penting lagi. Sekarang apa yang bisa dibanggakan? Ketika telah banyak yang menjadi jongos Jendral Penculik, kaki tangan Jendral Pembantai, dan babu konglomerat. Jadi benar: yang selalu aktual adalah masa lalu—karena itulah yang bisa diracik lagi untuk menjual hari ini dan masa depan. Ijazah sebagai pelawan Suharto digunakan untuk membasuh dan membenarkan langkah-langkah politik yang kini diambil.
Setiap angkatan lahir dan berakhir karena karya. Ia akan selalu tumbuh ketika masih mampu berkarya, dan akan mati ketika tak mampu melakukan apapun. Pun, Angkatan 22 Juli. Pertanyaannya: kenapa Angkatan 22 Juli mati muda? Mungkin Nabi Khidir benar ketika ia membunuh seorang bayi. Ketika ditanya mengapa bayi tak berdosa itu engkau bunuh, Khidir menjawab: “Kalau besar ia akan menimbulkan prahara.” Mungkin kalau tak mati muda, Angkatan 22 Juli akan menimbulkan prahara sebagaimana dikhawatirkan oleh Khidir. Misalnya, bila sekarang masih hidup dan berusia 17 tahun, bisa jadi beradu kasih dengan Jendral yang dulu menghilangkan saudara sesusuannya.
Atau mungkin sebab kematian yang belia itu lebih cocok versi Pramoedya Ananta Toer. Pada majalah Play Boy edisi I April 2006, Pram berkata: “Itu pimpinannya. Ketua organisasi itu, mesti hidup, tumbuh, berkembang bersama partainya. Ini ketuanya [Budiman Sudjatmiko] lari, masuk ke PDI [P].” Kata “pimpinannya” sebetulnya alegori, tak menunjuk satu orang walaupun nama disebut di situ. Artinya, Angkatan 22 Juli tumpas karena rapuh dari dalam, bukan karena dihancurkan oleh kekuasaan. Sebagai petunjuk, ketika diberi ruang hidup di alam demokrasi yang lebih terbuka, Angkatan 22 Juli justru tewas, tak mampu tumbuh dan menyesuaikan diri.
Sekarang memang masih ada yang mendaku bahwa Angkatan 22 Juli masih eksis. Tak masalah. Perkumpulan ini dipimpin oleh kepala suku dari Solo [kenapa tak disebut ketua atau yang lainnya, karena sebagaimana jabatan kepala suku akan digenggam sampai mati; sejak enam tahun menjabat tak tergantikan]. Perkumpulan ini menggelontorkan kata-kata arkaik sebagai jualan:neo-kolonialisme, neo-imperialisme, komprador, pintu baja, menjebol, gotong royong, dll. Tak tahu persis apakah generasi Fatin atau cowboy junior, misalnya, mengerti istilah-isitilah seperti itu? Toh itu tak akan penting bagi mereka.
Terlihat di sana pilihan kata yang dipilih disesuaikan dengan kehendak sang Tuan Besar: Jendral Penculik. Retorika politik Angkatan 22 Juli dengan kepala suku dari Solo ini sama persis dengan Jendral Penculik. Membaca pidato politiknya seperti mendengarkan suara Jendral Penculik dengan tokoh pengganti mirip Thukul Arwana. Maka jangan harap dalam pidatonya ada gugatan pada Jendral Penculik yang telah menghilangkan empat orang itu. Dalam perayaan yang dibikin semegah mungkin, empat orang korban penculikan tak akan disebut-sebut demi menyenangkan sang Tuan Besar di Hambalang sana. Begitu lihainya—walaupun norak—menaburkan kata-kata heroik dan penuh pekikan sampai bisa membungkus diri sebagai pejuang rakyat.
Dalam hubungan timbal balik, memang lihai taktik kepala suku dari Solo itu. Agar tak terlalu ketara kongkalikong dengan Jendral Penculik, ia bermain ditingkat daerah dengan menempatkan kader-kadernya sebagai caleg Partai Jendral Penculik, yang tentu saja jauh dari sorotan mata. Dengan begitu ia bisa mengelak: mana buktinya? Walaupun setiap waktu ia sowan pada Jendral Penculik di istananya sana.
Tapi apapun, Angkatan 22 Juli versi Tebet ini tak bedanya dengan Godot. Ia dikesankan ada, seakan berteriak-berteriak, ditunggu kehadirannya, tapi sebetulnya tak pernah ada. Sebagai sekumpulan veteran yang tak mampu melakukan apa-apa lagi selain menjongos pada Jendral Penculik, maka mereka bersandar pada mitologi masa lalu: tentang kemaha hebatan Angkatan 22 Juli.
Pada akhirnya, puisi Yoeda yang berjudul Tentang Angkatan 66, yang sadurannya seperti di bawah ini [huruf miring berarti saduran saya] cocok untuk menggambarkan Angkatan 22 Juli:
Tentang Angkatan 22 Juli
Orang bilang angkatan dua-dua juli pahlawan
penegak keadilan pembela kebenaran
generasi garda revolusi
Tuhan bilang mereka taik
jongos jendral penculik
kaki tangan jendral pembantai
babu para konglomerat
Aku bilang
mereka onggokan sampah beracun.
Sebagai pengunci. Kalau pun masih ada yang bisa dihormati dari Angkatan 22 Juli, tinggal empat orang itu saja: Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat dan Bimo Petrus. Yang lain telah menjadi sampah dan ampas.***