Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono
“Tak
mungkin berubah begitu saja tanpa kita mau berusaha, tak ada perjuangan
yang sia-sia yakinlah penindas pasti binasa.” (Red Flag)
Seorang
teman baikku (seorang akademisi dari sebuah universitas di Yogyakarta)
dalam suatu diskusi dengan diriku pernah melontarkan sebuah argumen yang
membuat benakku harus menyanggah lontarannya tersebut, karena menurutku
lontarannya tersebut bermuatan arus (mainstream) pemikiran
borjuis dan elitis yang menjauh dari kepentingan massa rakyat. Aku
melihat argumen teman baikku itu mengespresikan adanya retakkan antara
teori dan kepentingan untuk berpraksis, kepentingan massa rakyat dalam
membangun pikiran kritis dan aksi mengubah dunia.
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk menghakimi lontaran dari teman baikku itu,
tulisan ini aku buat untuk diposisikan sebagai anti tesis dalam tradisi
dialektika-Marxis, demi untuk menghancurkan sekaligus membangun sesuatu
demi menciptakan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya (ambarbinangun:
bar ambyar njur dibangun). Berangkat dari sini, maka izinkanlah aku
untuk ber-anti tesis ria dengan dirimu (pikiranmu), wahai teman baikku.
Temanku
mengatakan bahwa sebuah teori baru bisa dikatakan teori apabila dia
memenuhi 3 syarat minimal. Apakah syarat minimal itu? Pertama, teori harus mengalami uji coba yang panjang, dan yang Kedua, sebuah teori harus diakui secara universal, dan Ketiga sebuah
teori harus netral—tidak memihak. Sayangnya temanku ini tidak
memberikan argumen tentag definisi teori, dia hanya mengemukakan 3
syarat minimal itu saja. Tidak diberikannya definisi terhadap teori ini,
menurutku, adalah tindakan yang sangat fatal (kalau tidak ingin
dibilang konyol) karena hal itu akan menyeret orang pada kebingungan
terhadap pengertian dari teori itu sendiri.
Untuk
kepentingan menguji lontaran dari teman baikku itu, menurut diriku
perlu untuk melakukan pendefinisian teori sebagai titik tolak membongkar
ideologi yang bersembunyi dibalik argumentasi yang dilontarkan oleh
teman baikku itu.
Dalam
pandanganku teori itu tidak lebih dari sebuah alat analisis atau sering
juga diistilahkan dengan pisau analisis yang harus terintegrasi dengan
kepentingan rakyat tertindas. Jadi, teori itu harus memihak, memihak
pada kepentingan rakyat tertindas, tidak netral. Konkretnya begini,
teori adalah sebuah alat untuk menjelaskan sesuatu secara rasional dan
memihak. Berangkat dari sini, maka dapatlah dikatakan bahwa orang yang
sedang berpikir secara teoritis adalah orang yang sedang memberikan
penjelasan rasional terhadap obyek yang berada di luar dirinya dan buah
dari pemikirannya tersebut diabdikan untuk membebaskan manusia dari
ancaman dan kondisi yang menindas. Baiklah, untuk lebih mengkonkretkan
lagi definisi teori yang aku bacotkan ini aku akan menjelaskannya dalam
bentuk peristiwa berikut ini:
Misalnya
dibenak kita muncul pertanyaan (setelah mengamati suatu obyek) begini,
mengapa gunung merapi meletus? Ada dua jawaban yang bisa menjelaskan
peristiwa itu, yang Pertama penjelasan yang bersifat mistis nir-rasional, dan jawaban Kedua
bersifat materiil-rasional. Jawaban mistis misalnya karena Kyai Sapu
Jagat sedang berahi (konak/horni/ngaceng) dan kemudian dia bersetubuh
(ngentot) dengan Nyai Roro Kidul dan dari persetubuhannya itulah, maka
Kyai Sapu Jagat memuncratkan spermanya dalam bentuk letusan gunung
merapi. STOP! Tulisan ini tidak berurusan dengan jawaban yang bersifat
mistis seperti itu, tulisanku ini hanya sudi-mengakui jawaban yang
bersifat materiil-rasional..!! TEGAS AKU KATAKAN BAHWA JAWABAN YANG
BERSIFAT MISTIS BUKAN JAWABAN YANG BERSIFAT TEORITIS KARENA TIDAK
MEREFLEKSIKAN AKAL SEHAT. Jawaban materiil-rasional memberikan
penjelasan bahwa letusan gunung merapi itu adalah fenomena alam yang
menandakan bahwa magma yang ada di dalam perut bumi yang tersumbat oleh
batu besar berhasil mendesak dan mendorong dirinya keluar. Keberhasilan
magma mendesak, mendorong, dan kemudian keluar dari perut bumi inilah
yang menyebabkan sebuah gunung merapi meletus. Jawaban-penjelasan secara
materiil-rasional seperti inilah yang dinamakan dengan TEORI.
Teori
yang hadir untuk menjelaskan fenomena alam itu sebenarnya merupakan
refleksi dari sikap pikiran setelah mengamati hal-hal yang bersifat
materiil (keterancaman dan terjadinya “penindasan” alam terhadap
manusia). Terus apa hubungannya dengan kepentingan massa rakyat? Sudah
jelas teori itu bermanfaat bagi massa rakyat untuk mengambil
tindakan-tindakan rasional (baca: merubah prilaku) dalam membaca
tanda-tanda alam demi menyelamatkan diri dari amukan letusan gunung
merapi yang menindas. Inilah relevansi teori dengan kepentingan massa
rakyat. Jadi, tidak terjadi retakan antara teori dengan massa rakyat.
Teori
yang lahir dari pengamatan materiil tersebut, dalam perkembangannya,
tidak hanya berhenti pada ranah ilmu-ilmu alam tetapi kemudian
berkembang pada ranah ilmu-ilmu sosial sejalan dengan berkembangnya
modus produksi manusia. Sama seperti halnya dengan ilmu alam, ilmu
sosial pun bergerak dan berkembang mengkuti dinamika kepentingan massa
rakyat. Namun, harus digaris bawahi bahwa pergerakan dan perkembangan
teori ini tidak berada di ruang kosong, dalam pergerakan dan
perkembangannya dia harus berhadap-hadapan secara dialektis dengan
penemuan-penemuan baru dari massa rakyat. INILAH UJIAN YANG TERPENTING DARI SEBUAH TEORI: UJIAN TERHADAP PENEMUAN BARU DARI MASSA RAKYAT…!! BUKAN UJIAN DALAM BENTUK DIA (TEORI) HARUS DIPERDEBATKAN SECARA AKADEMIS DAN KEMUDIAN JIKA LOLOS AKAN MENDAPATKAN HADIAH NOBEL (atau
lulus dalam ujian skripsi, tesis, atau disertasi secara formal yang
menandakan bahwa dirinya telah berhasil-selesai mengenyam pendidikan ala
borjuis). DAN KARENA TELAH DIUJI SECARA AKADEMIS, MAKA DIA BERHAK UNTUK MENYANDANG TEORI UNIVERSAL. Sungguh sebuah pemahaman yang keliru!
Tidak
berhenti sampai di sini: Ujian dari massa rakyat ini pun tidak bersifat
statis, artinya ujian yang hanya muncul dari perenungan di atas menara
gading, tetapi ujian ini lahir dari proses yang bersifat
materialis-historis, artinya teori terlahir dan kemudian terbangun
karena dinamika dari perjuangan kelas. Inilah argumenku yang
bertentangan dengan argumen teman baikku itu. Jika temanku itu
menganggap teori terpisah dari perjuangan kelas (netral-tidak memihak),
maka aku dengan tegas menggariskan bahwa teori harus lahir dan terbangun
dari terjadinya pertarungan antara kelas penindas dan kelas yang
ditindas. Jika teori tidak lahir dari perjuangan kelas, maka sebuah
teori hanyalah berposisi sebagai budak bagi kepentingan kelas penindas,
misalnya teori yang dilontarkan oleh Talcott Parsons dan Robert K.
Merton—Fungsionalisme-Struktural—yang berusaha menyumbat perjuangan
kelas demi kemapanan kelas borjuis (penindas).
Yoi
Pace! Pertarungan antar teori di ranah pegerakan dan perkembangan ilmu
pengetahuan, berangkat dari apa yang sudah aku sampaikan tersebut,
sebenarnya merupakan ekspresi dari pertarungan kelas penindas versus
kelas yang tertindas. Dan berangkat dari sini, dapatlah pula dipahami
bahwa teori adalah refleksi dari basis (hubungan produksi) yang saling
bertarung. Artinya untuk melanggengkan hubungan produksi yang menindas
hal itu tidak saja memunculkan teori yang membudak pada kelas penindas,
tetapi hal itu juga berdampak pada lahirnya teori yang merupakan
refleksi dari kekuatan yang berusaha “merontokan” hubungan produksi yang
menindas tersebut. Misalnya untuk melawan teorinya Adam Smith yang
memberikan legitimasi terhadap penindasan model kapitalisme, maka
lahirkan teori yang berkepentingan membebaskan massa rakyat tertindas
(proletariat): Marxisme.
SEKALI
LAGI PENULIS GARISKAN SECARA TEGAS BAHWA TEORI ADALAH SEBUAH ALAT UNTUK
MENJELASKAN SESUATU SECARA RASIONAL DAN BERWATAK MEMIHAK. TEORI YANG
TIDAK MEMIHAK ADALAH TEORI YANG BERUSAHA UNTUK MEMBANGUN KESADARAN
PALSU.
Sebuah
teori agar menjadi teori tidak perlu diuji secara akademis yang
kemudian dari situ dia menyandang “pangkat/jabatan [elite]” universal
dan tidak memihak, namun keharusan yang wajib (tidak boleh tidak..!!)
dijalani adalah ujian yang menguji dia mampu atau tidak untuk
membebaskan massa rakyat yang terperangkap dalam kesadaran palsu dan
kemudian membangkitkan kesadaran untuk berlawan?! Berangkat dari sini,
maka sebuah lembaga pendidikan bukanlah lembaga tempat orang adu bacot
tetapi merupakan medan bagi bertarungnya ideologi penindas (kapitalis)
dengan pihak yang tertindas (proletar). Dan, lembaga-lembaga pendidikan
itu tidak hanya ada di ruang-ruang kelas yang sejuk, nyaman dengan
dosen-dosen dan mahasiwa/mahasiswinya bepenampilan sok bersih, perlente
(tampak gagah (bagus, apik, tampan, rapi, necis); suka berpakaian rapi),
glamor dan bergaya borjuis tetapi juga ada di tempat-tempat kaum
tertindas diperlakukan tidak adil, diperas/dihisap tenaga kerjanya.
Catatan:
Jika ingin mendapatkan penjelasan (teori) komprehensif terhadap
terjadinya penindasan yang terjadi dalam sistem kapitalisme dan
bagaimana kapitalisme melanggengkannya, menurut penulis, kaum tertindas
harus mempelajari teori-teori Marxis. Tidak hanya berhenti memberikan
penjelasan, tetapi teori-teori Marxis akan menuntun kaum tertindas untuk
membebaskan dirinya dari kondisinya yang tertindas. Jadi, Marxisme
bukanlah dogma tetapi merupakan alat penjelas dan penuntun untuk
melakukan perubahan sosial yang berpihak pada kepentingan kaum
tertindas.
Kepentingan
utama bagi kaum tertindas dan kaum intelektual mempelajari
ajaran-ajaran Marxis adalah untuk merubah keadaan bukan untuk menopang
hubungan produksi yang bersifat menindas, apalagi hanya untuk kesenangan
atau gagah-gahanan. Dan harus diingat bahwa usaha untuk mempelajari
Marxis hanyalah salah satu usaha saja untuk memahami terjadinya
penindasan. Dan, karena merupakan salah satu usaha, dia harus
diperlengkapi dengan usaha-usaha lainnya, yakni gerakan berlawan. Karena
tanpa adanya gerakan berlawan, nasib tidak akan berubah begitu saja,
teori hanya berhenti sebagai teori, bahkan jika teori didiamkan begitu
saja dan hanya dijadikan kesenangan intelektual, maka teori akan
membusuk (dimandulkan peranan revolusionernya oleh orang bersangkutan,
orang yang paham teori).
Karl
Marx pernah berkata bahwa teori bukanlah sesuatu untuk
bersenang-senang, tetapi alat untuk melakukan suatu perubahan (Karl Marx
dalam Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001). Karl Marx pun juga pernah berkata dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Tesis on Feuerbach”
bahwa selama ini para filsuf (pemikir/penteori-pen.) hanya berpikir
tentang dunia tidak berpikir bagaimana untuk mengubah dunia padahal
kepentingan utama dari teori adalah mengubah dunia!